Anggota Unit Intel Kodim 0710PekalonganJawa Tengah menangkap seorang pria bernama Muhammada Saiful Muis (31) yang mengaku sebagai anggota TNI Angkatan Udara saat berada di rumah istri sirinya. Pelaku dibekuk petugas di Kecamatan Pekalongan Timur, Kota Pekalongan. Dari tangan Muhammada Saiful Muis, petugas menyita seragam TNI AU, sejumlah ID card, hingga pistol mainan.
Penangkapan bermula dari laporan keluarga istri siri Muhammada Saiful Muis yang merasa curiga terhadapMuhammada Saiful Muis. Muhammada Saiful Muis sebelumnya berjanji akan menikahi istri sirinya secara resmi yang sudah nikahinya selama tujuh tahun. Namun, hingga kini janji itu belum juga ditepati.
Ditambah keluarga melihat Muis jarang berkantor. Muis mengaku bertugas di Bandung. Atas kecurigaan itu, keluarga melaporkan Muis ke Koramil Pekalongan Timur agar dilakukan pengecekan.
"Saya ngaku ke istri bertugas di pangkalan TNI AU di Bandung. Sudah mengaku TNI selama tujuh tahun," kata Muhammad Saiful saat diinterogasi petugas di Makodim 0710 Pekalongan, Rabu (22/1/2020). Muis berani mengaku menjadi anggota TNI karena ingin lebih terpandang di hadapan istri dan keluarganya.
"Saya malu pulang ke rumah di Blora karena mendaftar TNI gagal terus sudah empat kali. Makanya saya enggak pulang biar orang rumah tahu saya jadi TNI," lanjutnya. Komandan Kodim 0710 Pekalongan Letkol Inf Arfan Johan Wihananto mengatakan, saat ini Muis masih dimintai keterangan tentang motif dan aktivitasnya sehari hari selama di Pekalongan.
“Kita masih dalami motif yang sebenarnya, kenapa saudara Saiful Muis ini menjadi TNI gadungan. Pasalnya, ternyata sudah lama dan hampir tujuh tahun dirinya mengaku menjadi TNI sehingga sampai menikah siri dan mempunyai anak di Pekalongan ini,” ujar Dandim Arfan. Dandim mengatakan, pihaknya akan menyerahkan proses selanjutnya ke POM TNI AU.
Perjuangan Dedi si penjual sepatu keliling demi menafkahi keluarga patut diacongi jempol. Dedi menjual sepatu hingga keliling di Kalimantan dan Manokwari. Maraknya toko online membuat penjualan sepatu keliling seperti Dedi makin tersisih.
Selain itu, harga jual yang terbilang masih mahal ketimbang toko online menjadi kendala tersendiri untuk memikat pembeli. Sikapnya yang ramah dan murah senyum lantas tak membuat dagangan sepatu Dedi bisa laku terjual. Beberapa dari mereka justru menolak halus dan mengatakan "maaf atau enggak ya bang".
Dengan kondisi yang terus seperti ini, Dedi tak hanya berdiam diri saja. Demi menafkahi keluarganya, Dedi rela merantau dari ibu kota Jakarta ke Kalimantan dan Manokwari beberapa bulan. "Dari tahun 2000 saya sudah merantau ke Jakarta dari Sukabumi," ucap Dedi saat ditemui di Jakarta Timur, Rabu (25/12/2019).
"Tapi karena penjualan semakin sepi akhirnya saya putuskan untuk merantau ke luar daerah lagi," imbuh dia. Menggunakan tas besar, Dedi membawa puluhan pasang sepatu dan sendal dengan berat sekitar 15 kilogram. Membawa beban yang begitu berat membuat tubuhnya sedikit miring dan tak dapat berdiri tegap.
Kendati demikian, Dedi mengatakan sepatu yang dibawanya itu bukanlah miliknya melainkan milik bos. Ia mengambil puluhan pasang sepatu tersebut di kawasanCiracas. Selanjutnya ia jajakan kelilingJakarta.
Penghasilan yang didapat dari keuntungan per sepatu, akhirnya membuat Dedi semakin semangat bekerja. Hal ini terbukti dari dirinya yang merantau keKalimantanTimur,KalimantanBarat danManokwari. Dengan modal pinjam dari bos, akhirnya Dedi berangkat keKalimantandi tahun 2000 an dan keManokwaridi tahun 2018 lalu.
"Saya dipinjamkan modal gitu sama bos tapi diganti. Alhamdulillahnya diKalimantansamaManokwariselalu ramai." "Sehari bisa dapat Rp 200 ribu lebih. Jadi bisa ketutup buat ganti uang ke bos," sambungnya. Penghasilan ini tentunya berbanding terbalik dengan dirinya ketika berada diJakarta.
"Saya di sana bisa setahun atau 6 bulan lah minimal. Soalnya kalau diJakartapenghasilan saya miris." "Kadang cuma dapat Rp 30 ribu aja setelah keliling jauh," jelasnya. Berbekal komunikasi melalui handphone jadul, Dedi akan segera berangkat ke Kaliamantan atauManokwari.
Namum ia harus menunggu rekannya di daerah tersebut menghubunginya. "Selepas dariManokwarisaya cari uang diJakartaaja. Karena belum ada arahan keKalimantanatauManokwarilagi dari teman saya." "Mereka justru telepon bilangnya jangan ke sini dulu, lagi sepi. Kan mereka kenalan saya ketika di sana," ungkapnya.
Kembali lagi menyambung hidup diJakarta, membuat hari hari Dedi terasa sulit. Saingan online yang begitu pesat, membuatnya harus menghemat uang untuk kehidupannya. Ia pun harus menyiapkan uang ketika sewaktu waktu jualannya tak laku terjual sama sekali.
Sehingga untuk makan, Dedi tak pernah makan lebih dari satu kali setiap harinya. "Cuma makan sekali. Makan sekali aja alhamdulillah. Sebab saya punya 5 anak di kampung." "Tapi sisa 3, sebab yang 1 sudah menikah dan 1 nya lagi sudah kerja di Depok."
"Jadi uangnya harus diputer terus," katanya. Kegagalan di anak pertama dan kedua yang putus sekolah akibat biaya, tak ingin lagi dirasakan Dedi. Sehingga ia rela hanya makan sekali bahkan tak makan sama sekali ketika tak ada uang demi membiayai anaknya sekolah.
"Anak anak penyemangat hidup saya. Jadi saya rela cari informasi ke daerah mana aja yang jualan ramai demi biayai anak sekolah." "Anak ke 3 sudah SMA dan pesantren sisanya masih SD. Harapan saya semoga bisa sekolahkan mereka sampai lulus SMA," tandasnya.