Anggota Bawaslu RI M Afifuddin mengingatkan potensi 'penggunaan' Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pilkada Serentak 2020. Bawaslu pun sebelumnya telah merilis indek kerawanan Pilkada Serentak 2020 beberapa waktu lalu. Afif mengatakan ASN harus tetap berada di tempatnya sebagai pelayan masyarakat dan menolak jika dilibatkan untuk kepentingan elektoral Pemilihan Kepala Daerah.
Berdasarkan catatan lembaganya, sebanyak 250 kasus netralitas ASN telah ditindak Komisi ASN (KASN) karena dianggap melanggar kode etik sebagai abdi negara. "Pengawasan netralitas ASN maupun Polri itu pengawasannya di kita, tapi penindakannnya bukan di Bawaslu. Tindakan atas aturan akan dilakukan oleh KASN, kalau polisi di Propam," kata Afif dalam diskusi webinar bertajuk 'Pilkada Tangsel di Tengah Pandemi: Uji Integritas Penyelenggara dan Netralitas ASN, Kamis (23/7/2020). Menurut Afif, potensi pengerahan ASN dilakukan di lingakaran kekuasaan atau bakal calon yang masih menjadi pejabat daerah.
Khusus di kota Tangerang Selatan, Afif mengatakan, sejumlah kasus dugaan pelanggaran ASN sudah dinaikan statusnya sebagai temuan Bawaslu daerah. "Situasi (hari,red) ini tiga bakal calon yang berpotensi mencalonkan diri ini kan berlatar belakang ASN, kita tunggu sebagai calon (resmi,red). Ini tidak mengherankan jika kita mewaspadai jika mobilisasi ASN ini tidak dilakukan di Tangsel. Ini tugas Bawaslu bersama semuanya harus diawasi, dicegah bersama," ujar Afif. Sementara, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memilih untuk mengulas perilaku dan modus operandi mobilisasi ASN dalam Pilkada.
Ia melihat, potensi pelibatan dan mobilisasi ASN bisa dilakukan oleh calon petahana maupun non petahana, yang memiliki akses ke perangkat aparatur pemerintah sampai tingkat bawah. Dalam konteks ini, Titi hendak mengatakan, ASN sebagai instrument negara maka dia harus dimiliki oleh semua kepentingan, semua kelompok dan jauh dari itu tidak berafilisasi dengan kelompok kepentingan politik manapun. "ASN punya hak pilih, tentu one person one vote one value, tetapi ASN tidak punya hak untuk dipilih secara leluasa. Bisa, kalau sudah tidak berstatus sebagai ASN, mengundurkan diri atau melepaskan status jabatannya," kata Titi.
Titi melanjutkan, kenapa ASN memihak atau tidak netral dalam Pilkada? Pertama, ia menyebutkan, karena adanya hubungan kekerabatan antara oknum ASN dengan calon kepala daerah. Kedua, danya tekanan struktural karena atasannya adalah kepala daerah incumbent. Ketiga, lanjut Titi, adanya kekhawatiran adanya mutasi jabatan atau mandegnya jenjang karir apabila tidak ikut mendukung petahana.
Keempat, adanya tukar jasa berkaitan dengan posisi atau jabatan aparatur sipil negara (ASN). Kemudian yang kelima, pada daerah yang kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi, atau masing masing maju sebagai kandidat calon kepala daerah maka ASN akan terpecah soliditasnya. "Lalu tantangannya juga akan semakin berat di masa pandemi ini, apalagi banyak program penanganan Covid 19 memicu praktik politisasi bansos dan program pemulihan dampak Covid 19 oleh aktor politik yang berkompetisi. Politisasi program Covid 19 ini kemungkinan besar akan melibatkan ASN daerah," kata Titi.
"Kita harus mewaspadai netralitas ASN, kita harus belajar dari Pilkada terdahulu yang menjadi pemicu dan diputuskannya Pilkada ulang," katanya.