Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mendorong Dewan Keamanan PBB pada Selasa (30/6/2020) untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Iran sebelum masa embargo itu berakhir pada Oktober. Terkait hal tersebut, Rusia mengecam kebijakan Washington dan mengatakan aksi AS seperti "meletakkan lutut" ke leher Teheran. Melansir Reuters, Amerika Serikat telah mengedarkan rancangan resolusi kepada dewan keamanan PBB beranggotakan 15 negara yang akan memperpanjang tanpa batas embargo senjata terhadap Teheran.
Akan tetapi, sejumlah anggota dewan yang memiliki hak veto seperti Rusia dan China, telah mengisyaratkan langkah oposisi terhadap proposal tersebut. "Jangan hanya melihatnya dari Amerika Serikat, dengarkan juga negara negara di kawasan ini. Dari Israel ke Teluk, negara negara di Timur Tengah yang paling terpapar oleh predasi Iran berbicara dengan satu suara: Perpanjang embargo senjata," jelas Pompeo dalam pertemuan Dewan Keamanan yang dilakukan virtual. Mengutip Reuters, pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah lama berpendapat bahwa embargo senjata terhadap Iran tidak boleh dicabut.
Embargo senjata akan berakhir pada pertengahan Oktober di bawah kesepakatan nuklir Teheran 2015 dengan Inggris, Jerman, Prancis, China, Rusia dan pemerintahan pendahulu Trump, Barack Obama. Sejak Trump menjabat pada tahun 2017, pemerintahannya telah berhenti dari kesepakatan nuklir dan terus meningkatkan sanksi terhadap Iran dalam apa yang digambarkan Washington sebagai pendekatan tekanan maksimum. Berbicara kepada dewan, Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia menggambarkan kebijakan itu sebagai "kebijakan dengan tenaga cekik maksimum."
"Tugasnya adalah mencapai perubahan rezim atau menciptakan situasi di mana Iran benar benar tidak akan bisa bernafas. Ini seperti meletakkan lutut ke leher seseorang," katanya dalam referensi terselubung tentang kematian seorang pria kulit hitam di Minneapolis setelah seorang polisi kulit putih berlutut di lehernya. Kematian George Floyd memicu protes di seluruh Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Dewan Keamanan PBB bertemu pada hari Selasa untuk membahas laporan oleh Sekretaris Jenderal AS Antonio Guterres yang menetapkan bahwa rudal jelajah yang digunakan dalam beberapa serangan terhadap fasilitas minyak dan bandara internasional di Arab Saudi tahun lalu berasal dari Iran. Duta Besar Arab Saudi untuk PBB Abdullah Al Mouallimi mengatakan Rusia dan China "bersimpati" terhadap situasi Riyadh, tetapi ketika sampai pada proposal untuk memperpanjang embargo senjata di Iran, mereka memiliki perhitungan sendiri untuk diselesaikan dengan Amerika Serikat.
"Kami berusaha memisahkan dua masalah dalam diskusi kami dengan mereka, yang … terbuka, merupakan diskusi persahabatan, didasarkan pada hubungan baik yang kami nikmati dengan kedua negara," katanya dalam konferensi pers Selasa malam. Jika Washington tidak berhasil dalam memperpanjang embargo senjata Iran, AS mengancam untuk mengembalikan kembali semua sanksi PBB terhadap Iran di bawah kesepakatan nuklir, meskipun harus melanggar kesepakatan pada 2018. Para diplomat mengatakan Washington akan menghadapi kesulitan, kekacauan, dan pertarungan yang sangat sulit.
Iran telah melanggar sebagian dari perjanjian nuklir sebagai reaksi dari penarikan AS dan penerapan kembali sanksi Washington. Kepala Urusan Politik dan Pembangunan Perdamaian PBB Rosemary DiCarlo mengatakan kesepakatan nuklir itu penting untuk keamanan regional dan internasional. Dia menambahkan: "Oleh karena itu sangat disesalkan bahwa masa depan perjanjian ini diragukan." Inggris, Prancis dan Jerman menyatakan keprihatinan mereka kepada PBB bahwa dengan mencabut embargo senjata terhadap Iran akan memiliki implikasi besar bagi keamanan dan stabilitas regional.
Namun, mereka juga mengatakan tidak akan mendukung upaya AS untuk secara sepihak memicu pengembalian semua sanksi PBB terhadap Iran. Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan: "Komunitas internasional pada umumnya dan Dewan Keamanan PBB pada khususnya menghadapi keputusan penting: Apakah kita tetap menghormati aturan hukum, atau apakah kita kembali ke hukum rimba dengan menyerah pada tingkah pengganggu penjahat?" Hubungan Iran dengan Amerika dipastikan akan semakin tegang.
Senin (29/6/2020), Iran telah mengeluarkan surat perintah penangkapan dan meminta Interpol membantu menahan Presiden AS Donald Trump dan puluhan orang lainnya yang diyakini melakukan serangan pesawat tak berawak yang menewaskan seorang jenderal top Iran di Baghdad. Melansir Al Jazeera, Jaksa Teheran Ali Alqasimehr mengatakan pada hari Senin bahwa Trump, bersama dengan lebih dari 30 lainnya, terlibat dalam serangan 3 Januari yang menewaskan Jenderal Qassem Soleimani. Menurut kantor berita ISNA , mereka menghadapi tuduhan pembunuhan dan terorisme.
Alqasimehr tidak mengidentifikasi orang lain yang dicari selain Trump. Akan tetapi, dia menekankan Iran akan terus mengejar Trump bahkan setelah masa jabatan kepresidenannya berakhir. Interpol, yang berbasis di Lyon, Prancis, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa konstitusinya melarangnya melakukan "intervensi atau kegiatan apa pun yang bersifat politik, militer, agama atau ras"., "Karena itu, jika atau ketika ada permintaan seperti itu dikirim ke Sekretariat Jenderal, Interpol tidak akan mempertimbangkan permintaan seperti ini," demikian pernyataan Interpol seperti yang dilansir dari Al Jazeera.
Utusan AS untuk Iran Brian Hook menggambarkan tindakan itu sebagai "aksi propaganda". "Penilaian kami adalah bahwa Interpol tidak melakukan intervensi dan mengeluarkan Red Notice yang didasarkan pada sifat politik," kata Hook pada konferensi pers di Arab Saudi. "Ini adalah sifat politik. Ini tidak ada hubungannya dengan keamanan nasional, perdamaian internasional atau mempromosikan stabilitas … Ini adalah aksi propaganda yang tidak seorang pun menganggapnya serius," katanya seperti yang dikutip Al Jazeera.
Berita ini tayang di Kontan: